Sunday, April 6, 2014

Fitra: Aceh Terkorup


BANDA ACEH - Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) menemukan penyimpangan anggaran di Aceh mencapai Rp 10,3 triliun dalam 2.399 kasus.
Data yang dimiliki Seknas Fitra yang berasal dari hasil auditBadan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu merupakan akumulasi dari tahun 2009 hingga 2013 yang terjadi baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di Aceh.
Hal itu dibeberkan Seknas Fitra dan Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh kepada Serambi di Hotel Grand Nanggroe, Banda Aceh, Jumat (28/2).
Direktur Investigasi dan Advokasi Seknas Fitra, Uchok Sky Khadafi mengatakan, untuk tingkat provinsi, temuan penyimpangan mencapai Rp 7,3 triliun dengan 331 kasus. Sementara untuk tingkat kabupaten/kota anggaran yang diduga diselewengkan sebesar Rp 2,9 triliun terdiri atas 2.068 kasus.
Di Aceh, kata dia, temuan penyimpangan anggaran daerah ini terjadi di seluruh kabupaten/kota di Aceh. “Angka tertinggi terjadi di Kabupaten Aceh Utara sebanyak Rp 1,4 triliun dalam 143 kasus. Ranking kedua Aceh Timur sebesar Rp 132,5 milyar dengan 82 kasus, dan ketiga Bireuen sebesar Rp 132,4 milyar dengan 83 kasus,” sebutnya.
Menurut Uchok, angka-angka penyimpangan tersebut merupakan hasil audit BPK terhadap keuangan provinsi dan kabupaten/kota sebesar 20 persen. “Kalau BPK melakukan audit secara keseluruhan (100 persen), maka kemungkinan jumlah penyimpangan anggaran daerah akan lebih banyak lagi,” ungkapnya.
Banyaknya kasus penyimpangan ini, kata dia, karena pihak aparat hukum tidak menindaklanjuti kasus-kasus yang terjadi. “Oleh karena itu, kasus-kasus dari 2009 sampai 2013 semakin menumpuk dan hasil audit dari BPK hanya dianggap sampah oleh Pemda,” tukasnya.
Anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat itu, ulas Uchok, banyak digunakan untuk keperluan seperti biaya perjalanan dinas ganda, hibah untuk yayasan dan organisasi masyarakat, bantuan untuk partai politik dan lembaga vertikal. “Tidak hanya itu, modus penyimpangan anggaran ini juga dilakukan dengan cara membuat perjalanan dinas fiktif, realisasi belanja bantuan dinassosial kepada kelompok masyarakat yang tidak disampaikan kepada yang berhak, indikasi mark-up pekerjaan pengadaan alat-alat kesehatan, serta mengurangi volume pekerjaan,” paparnya.
Ia menyebutkan bahwa dari modus yang dilakukan pemerintah terhadap penggunaan keuangan daerah seperti disebutkan di atas, maka jelaslah terjadi penyimpangan. “Dana yang digunakan tersebut banyak yang tidak ada laporan pertanggungjawaban penggunaannya. Selain itu, sesuai dengan undang-undang, lembaga vertikal tidak boleh menerima dana dari daerah. Lembaga vertikal itu sudah mendapat anggaran dari APBN. Jadi, tidak boleh lagi menerima dana dari APBD, karena nanti bisa terjadi double anggaran,” jelasnya.
Bahkan jika dibandingkan dengan provinsi lain, katanya, Aceh masih menduduki peringkat teratas. Untuk provinsi lain di Sumatera nominalnya hanya miliaran, tidak ada yang mencapai triliunan rupiah. Kalau dirincikan, Sumatera Utara sebesar Rp 565 M, Sumatera Barat 249 M, Riau 708 M, Jambi 604 M, Sumatera Selatan 101 M, Bengkulu 91 M, dan Bangka Belitung 27 M. “Sementara untuk DKI Jakarta saja 1,2 triliun rupiah,” sebutnya.
Semua anggaran tersebut, kata Uchok, digunakan tanpa ada pertanggungjawaban. “Karenanya hal ini perlu diketahui masyarakat agar pemerintah baik provinsi maupun kabupaten/kota dapat mempertanggungjawabkan uang rakyat,” pungkas Uchok Sky.


Sumber : aceh.tribunnews.com

0 komentar:

Post a Comment