Wednesday, April 2, 2014

Sinar KPK dalam kegelapan dana pemilu


Banyak kritik dan protes yang dialamatkan ke KPU sehubungan dengan tugas dan wewenangnya dalam menyelenggarakan Pemilu 2014 nanti. Namun dibandingkan lima tahun lalu, kali ini KPU tampak lebih transparan, lebih tenang, lebih cerdas, dan lebih berani mengambil keputusan. Partai, calon, dan pemilih pun tidak lagi risau.

Namun di balik keterbukaan persiapan teknis administratif penyelenggaraan pemilu, pengelolaan dana pemilu dan dana yang terkait pemilu, baik yang menggunakan APBN/APBD, maupun dana publik untuk kampanye, masih terlihat samar-samar atau malah gelap sama sekali.

Dalam situasi ini, peran KPK sangat dinantikan. Sinar terangnya sangat penting. Tidak saja untuk mencegah penyalahgunaan dana negara, tetapi juga menghambat penggunaan dana ilegal untuk pemilu dan kampanye. Sebab, hanya lembaga inilah yang mendapat kepercayaan publik dalam memerangi korupsi di semua lini.

Awal tahun ini, publik dikejutkan oleh gagasan cerdas Bawaslu untuk membiayai para saksi partai politik yang akan bertugas di TPS. Dana yang diambil dari APBN itu jumlahnya Rp 660 miliar. Begitu gagasan ini dimunculkan media, terjadi kontroversi.

Bawaslu mendesak agar dana tersebut dikucurkan karena sebagai komponen bangsa, para saksi partai berhak mendapatkan bantuan negara. Ketua Komisi II DPR membenarkannya. Polhukam dan Kemendagri juga menyetujui. Demikian juga partai politik yang memang menanggung beban biaya para saksi yang tersebar di 560.000-an TPS. Tapi Kemenkeu menunggu kepastian hukum.

Sebaliknya, organisasi-organisasi pemantau pemilu menolak dan menunjukkan bahwa penggunaan dana saksi adalah ilegal, atau tidak ada dasar hukumnya. Sikap ini rupanya dibenarkan oleh beberapa partai lain. Namun Polhukam, Kemendagri, dan Bawaslu, ngotot bahwa dana tersebut bisa dicarikan basis legalitasnya. Rancangan peraturan pemerintah pun sudah siap disodorkan ke presiden untuk diteken.

Sampai kemudian KPK mengeluarkan peringatan: dana saksi tidak mempunyai dasar hukum dan melanggar UU No 8/2012. Jika Bawaslu dan pemerintah nekat mencairkannya, mereka akan menghadapi masalah hukum.

Peringatan KPK itu membuat semua pihak diam, tertegun manyadari diri: siapa berani menghadapi KPK? Jika awalnya Bawaslu merasa jadi pemilik ide dan pendorong lahirnya dana saksi, kini berbalik menuding Komisi II, Polhukam, dan Kemendagri sebagai inisiator dana saksi.

Padahal rencana pencairan dana saksi itu sebetulnya buah dari transaksi politik: di satu pihak,Bawaslu membutuhkan dana besar untuk merekrut relawan pemilu; di lain pihak, partai politik yang menduduki Komisi II, terdesak memenuhi dana saksi. Deal pun terjadi: pimpinan Komisi II menyetujui permintaan Bawaslu dipenuhi, dengan syarat saksi-saksi partai politik juga harus mendapatkan bagian.

Pimpinan Komisi II pun menyakinkan pemerintah, yang notabene adalah elit partai politik juga. Beragam dalih pun dilontarkan, sehingga rancangan peranturan pemerintah pun tinggal diajukan ke presiden. Sayang, sinar terang KPK menyorot mereka, sehingga mereka mundur sambil menutup muka.

KPK tergerak lagi memasuki arena pemilu. Tentu motifnya bukan menakut-nakuti, tetapi menyalamatkan harta negara. Sudah jadi rahasia umum, setiap kali menjelang pemilu atau pilkada, dana bantuan sosial alias bansos meningkat pesat.

KPK pun meminta kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, agar penyaluran dana bansos dihentikan sampai pemilu selesai. Jika tidak, penyaluran dana tersebut hanya dimanfaatkan untuk jual beli suara, yang bisa saja menjerat pejabat memasuki penjara atas tuduhan korupsi.

Tentu peringatan itu punya dasar kuat. KPK sudah mempelajari banyak kasus penyalahgunaan dana bansos untuk kepentingan pemenangan pemilu maupun pilkada. Para pelakunya pun sudah banyak masuk penjara.

Apa yang disebut dengan dana bansos, yang dicairkan besar-besaran menjelang pemilu maupun pilkada, sesungguhnya hanya akal-akalan saja. Pencairan dana yang diformulasi dalam berbagai program dan kegiatan, sesungguhnya hanyalah pemanfaatan dana negara untuk pemenangan pemilu.

Beberapa instansi pemerintah pusat sudah menyadari peringatan KPU, demikian juga sejumlah pejabat pemerintah daerah. Namun pasti banyak pejabat yang berjudi, mengendap-endap dalam gelap terus manyalurkan dana bansos. Tidak apa, jika memang siap jadi penghuni penjara
Sumber: Merdeka.com

0 komentar:

Post a Comment