* Mark Up Harga di Atas 100 Persen
BANDA ACEH - Gerakan Rakyat Antikorupsi (GeRAK) Aceh menemukan indikasi korupsi dengan modus operandi penggelembungan harga (mark up) alat kesehatan (alkes) RSU Teungku Peukan, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya). Dana untuk pengadaan alkes tersebut bersumber dari APBA 2013 senilai Rp 6,4 miliar.
Indikasi tindak pidana korupsi terendus dari pembuatan pagu harga satuan pengadaan alkes yang akan dibeli dengan perkiraan harga yang sangat tinggi dibanding harga pasar. Aroma korupsi semakin kuat dengan adanya bukti copy transfer pengiriman uang sebesar Rp 50juta melalui BCA dari seorang rekanan berinisial SA kepada calo proyek berinisial SB yang disebut-sebut keluarga bupati Abdya yang diduga mengarahkan proyek alkes RSU Teungku Peukan tersebut kepada PT BS.
“Dugaan kerugian keuangan negara dari proyek pengadaan alkes RSU Teungku Peukan mencapai Rp 2,3 miliar. Kami sudah laporkan kasus itu ke KPK di Jakarta, Jumat 21 Februari 2014,” kata Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani kepada Serambi, Jumat (21/2) sore melalui telepon selular dari Kantor KPK Jakarta, seusai menyampaikan laporan tersebut.
Askhalani mengatakan, sumber dana pengadaan alkes RSU Teungku Peukan dari APBA 2013 senilai Rp 6,459 miliar. Anggaran sebanyak itu akan digunakan untuk pembelian 10 jenis alkes (lihat tabel).
Dalam pelaksanaan lelangnya, PT BM diduga telah diarahkan untuk menjadi pemenang dengan hanya membuang atau menawar lebih rendah 1 persen atau senilai Rp 6,395 miliar dari total pagu.
Harga penawaran tersebut, setelah dikurangi PPN 10 persen dan PPh 2,5 persen, nilai seluruh alkes Rp 5,726 miliar. Dikurangi harga pembelian semua alkes senilai Rp 3,421 miliar maka total keuntungan yang diperoleh rekanan mencapai Rp 2,3 miliar atau 40 persen dari nilai proyek setelah dipotong PPh dan PPN.
GeRAK menilai, keuntungan yang mencapai 40 persen sangat besar. Karena berdasarkan Peraturan LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) Nomor 6 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, kewajarannya (keuntungan) maksimal 15 persen. “Keuntungan yang mencapai 40 persen itu bisa diperoleh rekanan diduga karena dalam proses lelangnya ada kolusi,” kata Askhalani. “Adanya bukti transfer uang dari seorang rekanan kepada calo proyek semakin memperkuat dugaan kolusinya,” ujar Askhalani.
Dalam kasus alkes RSU Teungku Peukan tersebut, menurut Askhalani banyak pihak yang terlibat. Antara lain, Direktur atau Kepala RSU Teungku Peukan, Kuasa Direktur PT BS, PPTK Satker RSU Teungku Peukan, Bupati Abdya, dan pihak lainnya yang terlibat dalam proses tender.
Askhalani menjelaskan, tujuannya ke KPK bukan hanya mengantar ‘berkas’ kasus alkes RSU Teungku Peukan tetapi juga dua kasus lainnya yaitu dugaan mark up pengadaan tanah pembangunan stadion dan Puskesmas Plus di Kecamatan Kluet Utara, Aceh Selatan senilai Rp 8,1 miliar dan kredit macet Bank Aceh di Kantor Cabang Lhokseumawe senilai Rp 250 miliar yang diduga banyak jatuh kepada pejabat karena hasil kolusi. Askhalani ke KPK didampingi Kepala Sekolah Antikorupsi Aceh, Suhendri dan Koordinator GeRAKIndonesia, Akhiruddin Mahjuddin.
0 komentar:
Post a Comment